BERITA MALUKU. Kepala Pusat Penelitian Laut Dalam - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPLD-LIPI) Augy Syahailatua mengatakan diperlukan pengkajian lebih mendalam terkait kematian dua ekor paus di perairan Seram dalam waktu berdekatan, guna mengetahui fenomena yang terjadi.
"Kami masih menduga-duga ini fenomena apa. Awalnya kami berpikir itu kejadian normal karena ikan paus bisa mati disebabkan oleh usia yang sudah tua ataupun sakit," katanya di Ambon, Selasa (30/5/2017).
Sebelumnya bangkai seekor paus biru berukuran panjang 23,20 meter dan lebar tubuh 6,50 meter ditemukan warga mengambang dalam kondisi rusak di pantai Dusun Hulung, Desa Iha, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat, pada 10 Mei 2017.
Kejadian yang sama terulang lagi pada 29 Mei 2017, seekor paus sepanjang 22,8 meter dengan lebar empat meter ditemukan terdampar di pantai Desa Soleh, Kecamatan Huamual.
Fenomena kematian ikan paus di perairan Maluku juga pernah terjadi beberapa tahun sebelumnya. Tercatat sedikitnya sudah ada tiga bangkai ikan paus yang ditemukan sejak tahun 1985.
Kerangka tiga paus yang ditemukan antara tahun 1985, 1990-an dan awal tahun 2000-an itu, sekarang berada di ruang pameran kelautan Museum Siwalima Ambon.
"Kematian dua paus ini berbeda. Paus yang sebelumnya ditemukan itu diperkirakan sudah mati beberapa minggu sebelumnya, kemudian bangkainya hanyut dan terdampar karena kondisinya sudah rusak. Sedangkan yang terbaru ini tubuhnya masih bagus," katanya.
Augy mengatakan ada banyak dugaan dan spekulasi terkait penyebab kematian dua ekor paus di perairan Seram dalam kurun waktu singkat. Hal itu diperlukan pengkajian yang lebih mendalam untuk bisa mengetahuinya dengan pasti.
Perairan Maluku, kata dia, merupakan jalur lintasan migrasi ikan paus dari belahan bumi utara ke selatan, begitupun sebaliknya. Proses migrasi tersebut terjadi dua kali dalam setahun.
Ketika bermigrasi mencari tempat yang lebih hangat untuk ditinggali, mamalia laut itu cenderung bergerombol dalam kawanan kekerabatan. Apabila seekornya terpisah, maka yang lainnya akan mencari.
Diduga salah satunya terpisah dan seekor lainnya mencari, saat itulah kedua ekor paus tersebut mengalami sakit atau kehilangan orientasi lalu mati.
"Kami menduga paus yang baru ditemukan itu sedang dalam perjalanan kembali dari selatan ke utara yang sedang musim panas kemudian terpisah dari kawanannya. Tapi ini perlu perlu penelitian lebih mendalam, kenapa ia mati, apakah ia memiliki hubungan kekerabatan dengan paus yang sebelumnya ditemukan," ucapnya.
Dugaannya lain yang cukup kuat, kata Augy lagi, adalah faktor perubahan iklim, sebab kalau berdasarkan proses migrasi, maka terbilang cukup terlambat karena terhitung 1 Juni 2017 belahan bumi bagian utara utara sudah mengalami musim panas, sedangkan dua ekor paus tersebut masih berada di wilayah perairan Maluku.
Wilayah Maluku yang berada di tiga derajat lintang selatan khatulistiwa, saat ini massa air lautnya sudah cenderung lebih dingin.
Perubahan suhu tersebut juga bisa membuat kedua ekor paus tersebut berusaha mencari perairan yang lebih hangat, yakni di daerah tepian pantai, sehingga membuat mereka terjebak dan mati.
"Ada spekulasi lain yang coba kami diskusikan tadi di LIPI. Bisa saja akibat perubahan iklim, karena mestinya sekarang ikan-ikan paus sudah berada di jalur lintang utara. Jika mereka terpisah maka ada kecenderungan untuk berusaha mencari perairan yang lebih hangat, seperti pantai misalnya," ucapnya.
"Kami masih menduga-duga ini fenomena apa. Awalnya kami berpikir itu kejadian normal karena ikan paus bisa mati disebabkan oleh usia yang sudah tua ataupun sakit," katanya di Ambon, Selasa (30/5/2017).
Sebelumnya bangkai seekor paus biru berukuran panjang 23,20 meter dan lebar tubuh 6,50 meter ditemukan warga mengambang dalam kondisi rusak di pantai Dusun Hulung, Desa Iha, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat, pada 10 Mei 2017.
Kejadian yang sama terulang lagi pada 29 Mei 2017, seekor paus sepanjang 22,8 meter dengan lebar empat meter ditemukan terdampar di pantai Desa Soleh, Kecamatan Huamual.
Fenomena kematian ikan paus di perairan Maluku juga pernah terjadi beberapa tahun sebelumnya. Tercatat sedikitnya sudah ada tiga bangkai ikan paus yang ditemukan sejak tahun 1985.
Kerangka tiga paus yang ditemukan antara tahun 1985, 1990-an dan awal tahun 2000-an itu, sekarang berada di ruang pameran kelautan Museum Siwalima Ambon.
"Kematian dua paus ini berbeda. Paus yang sebelumnya ditemukan itu diperkirakan sudah mati beberapa minggu sebelumnya, kemudian bangkainya hanyut dan terdampar karena kondisinya sudah rusak. Sedangkan yang terbaru ini tubuhnya masih bagus," katanya.
Augy mengatakan ada banyak dugaan dan spekulasi terkait penyebab kematian dua ekor paus di perairan Seram dalam kurun waktu singkat. Hal itu diperlukan pengkajian yang lebih mendalam untuk bisa mengetahuinya dengan pasti.
Perairan Maluku, kata dia, merupakan jalur lintasan migrasi ikan paus dari belahan bumi utara ke selatan, begitupun sebaliknya. Proses migrasi tersebut terjadi dua kali dalam setahun.
Ketika bermigrasi mencari tempat yang lebih hangat untuk ditinggali, mamalia laut itu cenderung bergerombol dalam kawanan kekerabatan. Apabila seekornya terpisah, maka yang lainnya akan mencari.
Diduga salah satunya terpisah dan seekor lainnya mencari, saat itulah kedua ekor paus tersebut mengalami sakit atau kehilangan orientasi lalu mati.
"Kami menduga paus yang baru ditemukan itu sedang dalam perjalanan kembali dari selatan ke utara yang sedang musim panas kemudian terpisah dari kawanannya. Tapi ini perlu perlu penelitian lebih mendalam, kenapa ia mati, apakah ia memiliki hubungan kekerabatan dengan paus yang sebelumnya ditemukan," ucapnya.
Dugaannya lain yang cukup kuat, kata Augy lagi, adalah faktor perubahan iklim, sebab kalau berdasarkan proses migrasi, maka terbilang cukup terlambat karena terhitung 1 Juni 2017 belahan bumi bagian utara utara sudah mengalami musim panas, sedangkan dua ekor paus tersebut masih berada di wilayah perairan Maluku.
Wilayah Maluku yang berada di tiga derajat lintang selatan khatulistiwa, saat ini massa air lautnya sudah cenderung lebih dingin.
Perubahan suhu tersebut juga bisa membuat kedua ekor paus tersebut berusaha mencari perairan yang lebih hangat, yakni di daerah tepian pantai, sehingga membuat mereka terjebak dan mati.
"Ada spekulasi lain yang coba kami diskusikan tadi di LIPI. Bisa saja akibat perubahan iklim, karena mestinya sekarang ikan-ikan paus sudah berada di jalur lintang utara. Jika mereka terpisah maka ada kecenderungan untuk berusaha mencari perairan yang lebih hangat, seperti pantai misalnya," ucapnya.