Jalan Sabang yang dikenal sebagai daerahnya Dolar dengan segala cerpernak cerperniknya bagi parantau anak Medan, dengan kehidupan kerasnya, sehingga wajar jika disebutkan sekejam kejam ibu tiri, tapi masih jauh lebih kejam ibukota Jakarta yang dirasakan bagi perantau khususnya anak Medan di Jakarta.
Di era tahun 1970 an hingga 80 an kawasan jalan Sabang bagai primadona untuk para petarung petarung sejati anak Medan dalam menghasis rezeki demi untuk mempertahan hidup di Jakarta, apaalagi dizaman itu seputar jalan Sabang, masih bertengger puluhan tempat hiburan, dan lokaksi Jakarta Fair masih berada dikawasan Monas, ditambah dengan pesona Casino Rollet Bakarat di Jakarta Theatre, dan Night Club LCC dan sejumlah pesona lainnya yang menjadikan kawasan jalan mampu memberikan banyak pilihan bagi anak anak Medan yang mencoba bertarung hidup di Jakarta, guna memperbaiki masa depan yang suram dan penuh trauma di kota Medan, sehingga jalan Sabang yang sejak dulu hingga kini tak banyak berubah, dijadikan sebagai titik simpul pertemuan bagi kalangan perantau.
Tersebutlah sejumlah tokoh sentral anak Medan yang hingga masih hidup dan sehat walafiat, seperti para senior komando preman, Kuris, Buyung Bauk, Arada, Daulay, Yan Antul, Uncu, Milhan, Lani, Gaul dan sang junior Emil Foster Simatupang, dan merupakan tokoh legendaris Anak perantau Medan di Jakarta yang dijadikan sebagai perlindungan bagi anak anak yang baru merantau di Ibukota yang penuh dengan segala resiko kehidupan yang keras dan berdinamika, karena tidak sedikit pula anak Medan yang terpaksa harus meninggalkan Medan dengan lariu malam akibat sporing burunan dikejar Team anti Bandit (Tekab) atau persoalan ekonomi, bahkan terpaksa meninggalkan orangtua di Medan karena faktor frustasi putus bercinta dan segala macam probelema kehidupan.
Siang jadi malam, dan malam dijadikan siang, karena harus mencari rezeki jungkir balik dengan segala resiko duel berdarah demi mempertahankan areal parkir dan sejumlah pertokoan milik pengusaha keturunan Cina, dan daya tarik Vidio Film teranyar serta peredaran gellek simariyuana yang saat itu belum terlalu menarik untuk ditangkapi oleh aparat.
Selalu saja jika ada anak Medan yang lagi ketiban sial ketangkap jeblos kepenjara, kekompakan anak Medan mengumpulkan sejumlah uang, guna membantu meringankan beban yang sedang terpuruk, dan begitu juga sebaliiknya, jika ada seorang anak Medan yang teraniaya oleh kelompok lain, maka secara spontan melalui komando para senior diatas, anak anak Medan yang berada ditik maut kawasan Senen, Galur, Pasar Baru, pasti segera merapat di jalan Sabang, persisnya di Natrabu restoran Padang milik si Datuk yang cukup berjasa memberikan utangan sementara kepada anak Medan, yang pasti besok akan dilunasi oleh para senior tersebut diatas, secara ikhlas, kompak, bagaikan saudara kandung sendiri, tanpa perduli RAS karena sejatinya Preman dan para tokoh Mafia jaman dulu tak pernah mempersoalkan soal; agama dan keyakinan apapun, yang terpenting bisa menjaga diri dan perduli dengan sesama.
Cukup banyak juga tokoh legadaris Medan yang sukses di Jakarta yang telah tiada alias wafat, seperti Batara, Dul, Syharul, Iwan dan Cikman, Aam, dan satu sabahat Iim yang kini sedang sakit, sehingga acara reuni yang baru pertama kali sejak 40 tahunan itu, terjadi dengan wajah lelah tua termakan usia, uban putih dikepala. Yang namanya mantan tokoh Preman cap kampak itupun tanpa banyak basa babsi karena dari muda dulupunh nggak nggerti basa basi, karena sejatinya semua memang jago ulok, tak banyak cerita, pelukan dan dekapan airmata tertahan, bersilahturahmi dalam suasana halal bil halal di tempat bersejarah RM Natrabu,Sabtu,6 Julu 2019, lalu diteruskan dengan bincang nostalgia pengalaman saat duel dan masuk bui, sambil menikmati potongan buah Mangga seraya ngopi dititik duel berdarah dan ulok mengulok yang tak pernah terlupakan itu. Karena Preman jaman dulu sangat teruji oleh waktu dan serangan fajar, berbeda dengan preman bandel sekarang yang sudah KW2 mungkin KW 3 tak berkwalitas, karena cuma bikin gaduh tanpoa membawa keuntungan.
Tapi walaupunh begitu pahit perjalanan hidup yang sudah ditempuh di njalan Sabang itu, rata rata mereka yang tersebut diatas mampu memberikan pendidikan dan masa depan yang terbaik buat anak keturunanya, contoh seperti Kuris, yang selain masih perkasa duisa jelang 74 tahun, Buyung Bauk dan Erada yang rata rata tak jauh berbeda usia, kini telah duduk manis melihat sukses anak cucunya. Bahkan salah satunya Emil Foster Simatupang, yang paling junior dan dianggap sebagai anak kecik bawa belati, bisa terus kuliah dan makan nasi padang tiap hari karena secara berganti disuplai oleh para kepalo suku, kini menjadi wartawan senior bidang hukum Mahkamah Agung RI, sekaligus CEO Media Breaking News Grup ini.
"Semoga dengan reuni pertama sejak 40 tahun lalu itu, kita yang sudah semakin tua, masih bisa bertemu seperti suasana begini, setiap setahun sekali, dan jangan lagi terjadi puluhan tahun baru bisa kita ngumpul ditempat legendaris ini juga seterusnya." kata Bang Kuris sambil angkat kaki memasuki mobil putih yang menjemputnya meninggalkan acara reuni ali topan anak jalanan asli Medan, yang tak pernah bisa digantikan dengan apapun itu. *** Mil.