Ijazah Palsu Kembali Marak, Aptisi Pusat: Masyarakat Masih Silau Gelar Akademis

                                                                                                                                                            Ilustrasi ijazah palsu


Jakarta, Info Breaking News – Setelah lama tak muncul, isu terkait sindikat jual beli ijazah palsu serta modus kuliah fiktif kini kembali naik ke permukaan.

Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (Aptisi) Pusat Budi Djatmiko mengatakan peristiwa ini muncul lantaran masih banyak masyarakat yang 'silau' akan gelar akademis.

Menanggapi hal ini Budi meminta semua pihak agar tidak saling menyalahkan, melainkan harus bercermin dan melihat bagaimana kondisi mental bangsa ini. Pasalnya, tidak sedikit dari masyarakat Indonesia yang kini masih lebih mementingkan gelar dibanding ilmu.
"Dahulu kita bangga dengan gelar Raden, Roro, Haji, Ustaz. Kini masyarakat senang dengan gelar akademik Dokter, Insinyur, Sarjana dan sebagainya. Sampai detik ini, gelar-gelar itu masih menjadi incaran semua lapisan masyarakat. Akibatnya, banyak tumbuh pendidikan tinggi yang hanya mencetak gelar saja tanpa memiliki kualitas akan output dan outcome dari lulusan atau alumninya," kata Budi, Jumat (30/11/2018).
Menurut hasil penelitian yang ia lakukan tahun 2011 silam, Budi menjelaskan mereka yang menjawab ingin cepat mendapat ijazah tanpa proses lama adalah yang mengaku sebagai PNS (42,3%), anggota dewan (17,12%), polisi (11,02%), tentara (7,12%), karyawan swasta (6,71%), wiraswasta (4,21%) dan tidak menyebutkan profesinya (11,52%). Rata-rata mengaku memiliki motivasi untuk kenaikan pangkat dan gengsi.
"Jika terjadi praktik jual beli ijazah tentu mereka tidak akan membuka satu sama lainnya karena suka sama suka. Perguruan tinggi (PT) dapat uang dengan cepat dan mudah, sementara pencari ijazah dengan cepat bisa dapat gelar. Namun semenjak Dikti menggunakan pangkalan data perguruan tinggi (PDPT), praktik semacam ini sangat sulit dilakukan karena harus melibatkan oknum Kopertis atau LL Dikti untuk memanipulasinya," paparnya.
Budi menyebut ada beberapa cara yang bisa dilakukan demi mencegah praktik jual beli ijazah:
  1. Perkuat PDPT (Pangkalan Data Perguruan Tinggi).
  2. Perlu diberlakukannya sanksi atau hukuman berat bagi para pelaku, baik yang mengeluarkan maupun yang menerima ijazah.
  3. Aturan penggunaan nomor ijazah yang terpusat dan dikendalikan oleh pemerintah, dalam hal ini Kemristekdikti.
  4. Semua pihak harus sepakat tidak menggunakan ijazah sebagai syarat utama untuk mendapatkan pekerjaan, melainkan kompetensi melalui uji kompetensi
  5. Masyarakat harus mulai diedukasi dengan konsep bahwa kuliah itu bukan untuk mencari gelar tetapi mencari keahlian dan kompetensi diri.
  6. Persyaratan mahasiswa pindah antar-PT harus dibuatkan sistem tertentu yang tidak mudah dimanipulasi.

"Harus diakui, Kemristekdikti dan LL Dikti belum punya sistem yang baik dan tuntas untuk menghadapi PT yang nakal. Mereka juga belum memiliki SOP (standard operating prodcedure) yang baik, sigap, dan menyeluruh untuk memperbaiki PT yang bermasalah. Pendekatannya masih sangat birokratis dan lama, sehingga masih ada yang belum bisa selesai dalam waktu tiga hingga empat tahun ini. Tentu itu menyangkut sikap dan mental pelaksana di lapangan. Yang sangat dirugikan tentu adalah mahasiswa, dosen dan karyawan," ujarnya.
Selanjutnya, Budi juga menilai meningkatnya jumlah perguruan tinggi baik swasta maupun negeri di Indonesia menjadikan kompetisi yang sangat tinggi untuk mencari mahasiswa. Setiap PT menggunakan berbagai cara jitu untuk memikat mahasiswa. Mereka berlomba-lomba mencari sebanyak-banyaknya mahasiswa tanpa memikirkan mutu pendidikan. Oleh karena itu, wajar jika kemudian hanya tiga PT Indonesia yang berhasil masuk 500 besar World Class University.
Tak hanya itu, pertumbuhan jumlah PT juga dianggap tidak diikuti dengan laju pertumbuhan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi, terutama saat ekonomi kurang baik yang menyebabkan masyarakat tidak mampu menguliahkan anak-anaknya. Hal ini yang kemudian membuat para pengelola PTS berusaha mempertahankan eksistensinya dengan berbagai cara mengingat syarat untuk mendirikan PTS sangat berat dengan investasi tinggi. Belum lagi kewajiban untuk menggaji dosen, karyawan dan pengeluaran tetap lainnya.
Maka saat jumlah mahasiswa yang mendaftar sangat minim, tentu itu akan mempengaruhi kas PT. Kondisi itulah yang dimanfaatkan oleh beberapa oknum pengelola PT untuk mencari jalan pintas dengan mengiming-imingi calon mahasiswa baru dengan kuliah mudah dan cepat dapat ijazah.
"Idealnya, tiap dosen menjadi tangung jawab negara maka digaji oleh pemerintah sehingga PT tidak terlalu ketakutan jika mahasiswa berkurang," ungkap Budi.
Sebelumnya, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir mengungkapkan pihaknya telah menyelesaikan masalah ijazah pada 2015 dengan baik. Hal itu terbukti dengan ditutupnya 243 PT. Kemristedikti menegaskan tidak akan menoleransi adanya ijazah palsu dalam bentuk apapun.
Selain menutup kampus bermasalah, Kemristedikti pada saat bersamaan juga membenahi sistem PDPT sehingga masalah ijazah tidak dapat dimanipulasi oleh pihak manapun.
"Tiba-tiba muncul akhir-akhir ini, padahal sudah saya pasang sistem, maka kalau ada (jual beli ijazah) tutup saja. Enggak usah kasih susah orang. Saya sudah perintahkan kepada dirjen dan direktur terkait untuk melakukan penutupan bagi PT yang bermasalah dan terlibat penjualan ijazah," ujar Nasir saat ditemui di Gedung Kemenristekdikti, Kamis (29/11/2018) kemarin.
Nasir juga menambahkan, masalah yang berkembang saat ini sebenarnya adalah aksi dari pemain lama yakni pemilik kampus yang izin operasinya dicabut namun tetap berusaha untuk menjalankan kampusnya dengan cara menggunakan nama baru. Padahal, salah satu masalah penutupan kampusnya adalah karena ia terlibat dalam kasus ijazah palsu.
"Mereka ditutup karena pernah mewisuda sekitar 700 orang dan ini sudah ditutup. Seingat saya, ramai-ramai saya lakukan penggerebekan pada acara wisuda dan sudah selesai saya lakukan. Eh sekarang muncul lagi. Memang kita tidak boleh lengah lagi, harus jalan terus," ujarnya.
Nasir menuturkan, salah satu cara yang dilakukannya agar masalah ijazah palsu tidak terulang yakni selalu menelusuri data pemilik yayasan atau pihak yang mengajukan pendirian PT. Apabila masih ada keterkaitan atau hubungan dengan orang lama, pihaknya tidak akan memberikan izin. ***Rina Triana

Subscribe to receive free email updates: