Ruangan cafe karaoke Black Box yang menempati salah satu kios GOR Mustika tampak kosong karena sudah tidak beroperasi sejak 26 Mei lalu. (foto: dok-ib) |
Berdasarkan keterangan Kepala Satpol PP Blora Anang Sri Danaryanto S.Sos, MMA melalui Kasi Penyelidikan dan Penyidikan Tari SH, Senin (29/5) kemarin, penutupan cafe tersebut dilakukan secara mandiri oleh pemiliknya pasca dipanggil guna memperoleh pembinaan oleh pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Tari SH yang juga PPNS ini mengatakan bahwa Hartini warga Sawahan Kelurahan Tempelan sebagai pemilik cafe karaoke Black Box memilih untuk melakukan pembongkaran cafe karaoke miliknya karena dengan sadar telah melanggar dua buah perda dan surat perjanjian kontrak kios.
Dimana menurut Tari, yang pertama ia melanggar Perda Nomor 5 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan, khususnya Pasal 51 (1) dimana setiap pengusaha dalam menyelenggarakan usaha pariwisata wajib melakukan pandaftaran pariwisata.
Kemudian yang kedua melanggar Perda Nomor 12 Tahun 2010 tentang Retribusi Rekreasi dan Olahraga Pasal 31 (1) Wajib retribusi harus membayar seluruh retribusi yang terhutang secara tunai pada saat jatuh tempo.
"Pada kenyataannya Hartini dalam menjalankan usaha cafe karaoke Black Box tidak memiliki ijin sebagaimana diamanatkan Perda Nomor 5 Tahun 2017 dan sampai batas akhir kontraknya 2 Maret 2017 lalu hingga kini masih mempunyai tanggungan pembayaran retribusi sebesar Rp 4 juta termasuk dendanya," ungkap Tari.
Hartini (kanan) pemilik cafe karaoke Black Box diberikan pembinaan oleh PPNS, Kasi Penyelidikan dan Penyidikan Satpol PP Blora Tari SH dan rekan. (foto: dok-ib) |
Dimana dalam perjanjian tersebut ia hanya menyewa selama dua tahun terhitung sejak 2 Maret 2015 hingga 2 Maret 2017. Namun hingga awal Mei masih beroperasi sehingga dilakukan pemanggilan.
"Atas beberapa pelanggaran itu, akhirnya kami panggil Bu Hartini pada tanggal 22 Mei 2017 lalu ke Kantor Satpol PP untuk dimintai keterangan terkait operasional Black Box miliknya. Sekaligus kita berikan pembinaan dan arahan. Ia kami berikan opsi penyelesaian pelanggaran sesuai aturan hukum (yustisia) dan non hukum (non yustisia)," lanjutnya.
Adapun jika ia tidak mau membongkar dan menyerahkan aset kios kepada Dinporabudpar maka cukup jelas dan tegas akan diproses sesuai aturan yang berlaku dengan dakwaan pelanggaran Pasal 92 (1) Perda Nomor 5 Tahun 2017 dengan ancaman pidana kurungan paling tinggi 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 25 juta, jo Pasal 26 (1) Perda Nomor 12 Tahun 2010 dengan ancaman pidana paling tinggi 3 bulan atau pidana denda 3 kali jumlah retribusi kurang bayar.
"Alhamdulillah, setelah kita berikan penjelasan seperti itu, beliau kooperatif dan bersedia melakukan pembongkaran. Ia memilih opsi non yustisia dengan membongkar dan menutup usaha cafe karaokenya. Kami beri waktu tenggang pembongkaran selama empat hari sejak 22 Mei hingga 25 Mei, dan kini sudah tidak beroperasi lagi," tegas Tari, Senin (29/5).
Pada akhirnya aset Pemkab berupa kios di Komplek GOR Mustika bisa dikembalikan untuk dikelola sesuai peruntukannya.
Dengan dilakukannya penutupan cafe karaoke secara mandiri itu, Tari yang juga mantan Kasubbag Badan Hukum dan HAM Setda Blora ini, berharap bisa menjadi contoh bagi pengusaha tempat hiburan malam lainnya agar bisa sadar. Pasalnya hingga kini jumlah tempat hiburan malam berupa cafe karaoke ada sebanyak 85 lokasi dan yang memiliki ijin hanya 4 lokasi.
"Kami akan terus melakukan pembinaan dan penegakan perda secara bertahap," pungkasnya. (humas | res-ib)