http://ift.tt/20kt43r - Berita Terkini Terbaru Hari Ini - "Perseteruan" Antasari Azhar vs Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang sedang ramai jadi perbincangan saat ini.
Berawal dari kehadiran Antasari di Bareskrim Polri, Selasa (14/2/2017) yang mendesak SBY untuk mengungkapkan kriminalisasi yang telah menjeratnya.
Antasari menuding SBY sebagai aktor intelektual di balik kasus Nasruddin.
Ia merasa dikriminalisasi karena enggan menuruti keinginanan SBY agar besannya, Aulia Pohan tidak ditahan KPK.
Tudingan ini menjadi kilas balik terhadap ungkapan Yusril di balik Kasus Antasari hingga Susno Duadji yang pernah ditulis Tribunnews.com 4 Oktober 2010 silam.
Yusril Ungkap Kasus IT KPU
Saat itu, Yusril menyebut kondisi negara di bawah pemerintahan SBY-Boediono semakin tragis.
Negara seperti tidak hadir ketika terjadi ketidakadilan di mana-mana sehingga terjadi berbagai kekerasan yang dilakukan masyarakat.
Menurut Yusril, ketidakadilan ini berawal dari amburadulnya Pemilu 2009 yang dimenangi SBY-Boediono.
Ia lantas mengungkap kasus IT KPU yang diusut KPK saat diketuai Antasari Azhar.
Namun unjungnya, Antasari malah dijebloskan ke penjara atas tuduhan pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen.
Ia mengungkap KPK menjadi mandul saat Bibit Samad Rianto-Chandra Hamzah dijadikan tersangka saat sedang mengusut kasus bailot Bank Century.
Komjen Susno Duadjo juga senasib.
Berikut tulisan Yusri Ihza Mahendra kepada Tribunnews.com.
Kalau kita membaca Pembukaan UUD 1945, kita akan menemukan kata-kata yang penuh makna, yakni negara yang kita bangun ini bertujuan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam kerangka itulah, kita membentuk pemerintahan untuk menjalankan kekuasaan atas nama negara.
Kini, Pemerintahan SBY-Boediono baru menjalankan kekuasaan pemerintahan negara melalui Pemilu yang buruk di tahun 2009, setahun saja, sejak dilantik 20 Oktober 2009.
Sejak awal, Pemilu yang buruk dengan manipulasi daftar pemilih, IT KPU yang amburadul dan dugaan penggunaan dana bailout Bank Century untuk membiayai kampanye Pilpres SBY Boediono, sejak awal telah menyebabkan Pemerintah baru ini mengalami krisis kewibawaan.
Memang, apa yang dikemukakan ini baru bersifat dugaan.
Namun sikap defensif pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik pendukungnya terhadap semua permasalahan di atas, secara politik justru semakin memreteli kewiwabaan Pemerintah.
Soal manipulasi data pemilih misalnya pernah menjadi angket di DPR yang lama.
Namun DPR baru hasil Pemilu 2009 tidak meneruskan penyelidikannya, padahal menurut UU Angket, DPR baru berkewajiban meneruskan angket itu.
Negosiasi politik antar partai dalam penyusunan KIB II, nampaknya telah menenggelamkan kewajiban DPR baru untuk meneruskan hak angket itu.
Penyelidikan terhadap amburadulnya IT KPU yang diduga kuat memainkan peranan besar dalam manipulasi Pemilu dan Pilpres, telah menelan korban dengan dijebloskannya Antasari Azhar ke dalam penjara dengan tuduhan yang mencengangkan, yang hingga kini tetap misteri.
Antasari tahu seluk beluk IT KPU dengan yang dibangun dengan biaya besar, termasuk tahu siapa rekanan yang memenangkan pengadaan peralatan IT itu.
Ia baru saja berniat menyelidiki, belum apa-apa, tapi nasibnya keburu mengenaskan.
Akhirnya rencana menyelidiki IT KPU kandas bersamaan dengan dijebloskannya Antasari ke dalam tahanan.
Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah lain lagi ceritanya.
Niat mereka untuk menelusuri bailout Century menjadi kandas dengan isu yang sengaja ditimpakan kepada mereka, penyuapan.
Sampai sekarang status Bibit dan Chandra masih tersangka.
Surat Penghentian Penyidikan terhadap mereka telah ditolak pengadilan.
Kini kabarnya sedang diuapayakan Kasasi ke Mahkamah Agung.
KPK menjadi lumpuh dengan kasus yang menimpa tiga pimpinannya.
Sementara Susno Duadji yang mulai buka mulut hal-hal terkait dengan Century, dijebloskan ke dalam tahanan dengan tuduhan korupsi ketika menjadi Kapolda Jawa Barat.
Sejak itu, tiga institusi penegak hukum, KPK, Kepolisian dan Kejaksaan seolah menjadi berhadap-hadapan satu sama lain.
Padahal, Presiden berkewajiban menjaga harmonisasi antara lembaga penegak hukum.
Konflik terbuka tiga lembaga ini akan berakibat merosotnya kewibaan aparatur penegak hukum.
Kalau kewibawaan aparatur penegak hukum rusak, maka krisis kewibawaan akan makin melebar.
Rakyat tak percaya penegakan hukum dilakukan dengan niat yang tulus demi tegaknya hukum.
Penegakan hukum hanyalah alat permainan untuk menutupi dan membela kepentingan.
Negara akhirnya akan terjerumus kepada krisis kewibawaan yang kian dalam.
Dalam suasana krisis seperti itu, pemerintah masih berupaya untuk membangun citra memberantas korupsi.
Namun upaya ini tak berhasil memulihkan citra itu, kendatipun bagi SBY, citra adalah Panglima!
Sejumlah kasus lama dibongkar-bongkar seperti kasus penyuapan sejumlah anggota DPR dalam pemilihan Miranda Gultom sebagai Deputi Senior Guberbur BI.
Kasus Sisminbakum diangkat kembali, walau sejak awal awam pun tahu ada rekayasa di balik semua itu.
Namun, kalau menyinggung bailout Century, segala upaya dilakukan agar mega skandal ini tidak terkuak, karena akan menohok substansi legalitas Pemilu 2009 dengan komposisi anggota DPR seperti sekarang, dan Pilpres 2009 yang dimenangkan SBY-Boediono.
IT KPU kini sudah hilang dari ingatan publik.
Padahal, kalau ini terkuat, akan ketahuan juga bagaimana sesungguhnya rekayasa Pemilu 2009 dilakukan.
Apa yang dikemukakan di atas hanya dipahami oleh masyarakat kelas menengah dan kelas atas.
Masyarakat kelas bawah, walaupun mendengar berita, mungkin kurang mampu mencerna dan kurang menaruh perhatian tentang hal-hal yang tidak secara langsung mengenai kehidupan mereka.
Namun ketidakadilan tetap mereka rasakan, ketika pemerintah yang tengah mengalami krisis kewibawaan sibuk membela dan mempertahankan diri dengan membangun citra diri yang bagus dan aduhai, telah lalai mengantisipasi dan menyelesaikan hal-hal yang berpotensi menjadi konflik di kalangan masyarakat kelas bawah.
Pemerintah SBY tetap saja tak kunjung mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat yang terus terpinggirkan dalam kemiskinan yang makin dalam.
Lapangan kerja dan lapangan berusaha begitu sulit dalam setahun terakhir ini, yang semakin mendorong meningkatnya kejahatan.
Rasa aman rakyat hilang, seiring dengan merosotnya kewibawaan Pemerintah.
Konflik antar kelompok dalam masyarakat terjadi di mana-mana dengan aneka latar belakang isyu, etnik, agama, premanisme dan terorisme.
Rakyat yang jengkel mulai menyerbu kantor polisi yang menjadi simbol negara dalam melindungi bangsanya.
Namun apa yang terjadi, polisi justru melipatgandakan kewaspadaan untuk melindungi diri sendiri dari ancaman teroris dan penjahat. Kalau aparat keamanan sibuk melindungi diri sendiri, bagaimana mungkin akan mampu melindungi rakyat?
Ketika ketidakadilan makin meluas, negara seperti tidak hadir.
Padahal negara berkewajiban melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia.
Ketika wilayah negara diterobos oleh petugas negara lain, negara juga tidak menunjukkan ketegasan sikap.
Negara seakan tak hadir melindungi tumpah darah Indonesia dan membiarkan harga dirinya terinjak-injak.
Sungguh tragis nasib bangsa dan negara yang dipimpin Presiden SBY-Boediono ini.
(Tribunnews.com)