BERITA MALUKU. Keluarga Febri Suitela dan Wellem Salampessy yang menjadi terdakwa pengeroyokan serta pemukulan menewaskan AKBP Johanis Mairuhu menangis histeris di Kantor Pengadilan Negeri Ambon memprotes hukuman majelis hakim.
"Anak saya tidak bersalah dan tidak membunuh, lepaskan dia dari tahanan" teriak ibu kandung terdakwa, Ny., Yo Suitela di Ambon, Selasa (1/11/2016).
Tangisan histeris dan teriakan keluarga terdakwa membuat jaksa penuntut umum Lily Heluth bergegas ke Kantor Polsek Sirimau meminta bantuan penambahan aparat keamanan, sehingga Kapolsek AKP Meity Jacobus bersama sejumlah personelnya turun ke kantor pengadilan dan mengawal para tahanan menaiki mobil.
Ketua majelis hakim PN Ambon, Hery Setyobudi didampingi S.M.O Siahaan serta Jimmy Wally selaku hakim anggota. dalam amar putusannya menyatakan kedua terdakwa terbukti bersalah melanggar pasal 338 juncto pasal 55 ayat (1) KUH Pidana sehingga terdakwa I Febri Suitela dijatuhi vonis 13 tahun penjara dan terdakwa II Wellem Salampessy selama 14 tahun penjara.
Putusan majelis hakim juga lebih ringan dari tuntutan JPU yang sebelumnya meminta kedua terdakwa dihukum 15 tahun penjara.
Majelis hakim juga menyatakan barang bukti berupa pakaian milik korban serta sebilah kayu rep sepanjang 95 Cm dan lebar 5,5 Cm masih dipakai sebagai barang bukti untuk proses pemeriksaan Marvi Haluwela, anggota Polda Maluku yang kasusnya ditangani Propam Polda.
Atas putusan majelis hakim, baik JPU maupun kedua terdakwa lewat penasihat hukumnya Chris Latupeirissa menyatakan pikir-pikir, sehingga diberikan waktu selama tujuh hari.
Pada persidangan tertanggal 10 Oktober 2016, JPU menuntut Febry Suitela dan Wellem Salampessy, dua terdakwa kasus dugaan pengeroyokan yang mengakibatkan kematian AKBP Johanis Mairuhu pada 3 Januari 2016 selama 15 tahun penjara.
Menurut JPU, terdakwa I Febry yang pertama dipukuli korban dengan sebuah kayu yang panjangnya sekitar 95 Cm dan lebar 5,5 Cm di depan teras rumah saksi Simon Kembauw alias Ongen pada tanggal 3 Januari 2016 ketika terjadi keributan.
Sehingga terdakwa merampas kayu tersebut dan kembali memukuli korban, selanjutnya terdakwa II Wellem Salampessy mengambil kayu yang sama dan ikut memukuli korban di bagian kepala sehingga terjatuh di jalan aspal.
Terdakwa juga tidak mengenali korban yang merupakan seorang perwira Polda Maluku berpangkat AKBP, dan setelah balas memukuli korban, mereka langsung meninggalkan tempat kejadian perkara sehingga korban ditolong oleh saksi lainnya.
Tuntutan JPU juga didasarkan atas keterangan 21 orang saksi baik yang hadir dalam persidangan maupun yang dibacakan keterangannya dibawah sumpah, termasuk satu saksi verbalisem dari Mapolres Ambon dan Pulau-Pulau Lease.
JPU juga meminta majelis hakim menetapkan seorang pelaku lainnya atas nama Marvi Haliwela, anggota Polda Maluku yang menjadi penyebab keributan di rumah saksi Ongen Kembauw sebagia tersangka sesuai ketentuan pasal 55 ayat (1) KUH Pidana.
"Anak saya tidak bersalah dan tidak membunuh, lepaskan dia dari tahanan" teriak ibu kandung terdakwa, Ny., Yo Suitela di Ambon, Selasa (1/11/2016).
Tangisan histeris dan teriakan keluarga terdakwa membuat jaksa penuntut umum Lily Heluth bergegas ke Kantor Polsek Sirimau meminta bantuan penambahan aparat keamanan, sehingga Kapolsek AKP Meity Jacobus bersama sejumlah personelnya turun ke kantor pengadilan dan mengawal para tahanan menaiki mobil.
Ketua majelis hakim PN Ambon, Hery Setyobudi didampingi S.M.O Siahaan serta Jimmy Wally selaku hakim anggota. dalam amar putusannya menyatakan kedua terdakwa terbukti bersalah melanggar pasal 338 juncto pasal 55 ayat (1) KUH Pidana sehingga terdakwa I Febri Suitela dijatuhi vonis 13 tahun penjara dan terdakwa II Wellem Salampessy selama 14 tahun penjara.
Putusan majelis hakim juga lebih ringan dari tuntutan JPU yang sebelumnya meminta kedua terdakwa dihukum 15 tahun penjara.
Majelis hakim juga menyatakan barang bukti berupa pakaian milik korban serta sebilah kayu rep sepanjang 95 Cm dan lebar 5,5 Cm masih dipakai sebagai barang bukti untuk proses pemeriksaan Marvi Haluwela, anggota Polda Maluku yang kasusnya ditangani Propam Polda.
Atas putusan majelis hakim, baik JPU maupun kedua terdakwa lewat penasihat hukumnya Chris Latupeirissa menyatakan pikir-pikir, sehingga diberikan waktu selama tujuh hari.
Pada persidangan tertanggal 10 Oktober 2016, JPU menuntut Febry Suitela dan Wellem Salampessy, dua terdakwa kasus dugaan pengeroyokan yang mengakibatkan kematian AKBP Johanis Mairuhu pada 3 Januari 2016 selama 15 tahun penjara.
Menurut JPU, terdakwa I Febry yang pertama dipukuli korban dengan sebuah kayu yang panjangnya sekitar 95 Cm dan lebar 5,5 Cm di depan teras rumah saksi Simon Kembauw alias Ongen pada tanggal 3 Januari 2016 ketika terjadi keributan.
Sehingga terdakwa merampas kayu tersebut dan kembali memukuli korban, selanjutnya terdakwa II Wellem Salampessy mengambil kayu yang sama dan ikut memukuli korban di bagian kepala sehingga terjatuh di jalan aspal.
Terdakwa juga tidak mengenali korban yang merupakan seorang perwira Polda Maluku berpangkat AKBP, dan setelah balas memukuli korban, mereka langsung meninggalkan tempat kejadian perkara sehingga korban ditolong oleh saksi lainnya.
Tuntutan JPU juga didasarkan atas keterangan 21 orang saksi baik yang hadir dalam persidangan maupun yang dibacakan keterangannya dibawah sumpah, termasuk satu saksi verbalisem dari Mapolres Ambon dan Pulau-Pulau Lease.
JPU juga meminta majelis hakim menetapkan seorang pelaku lainnya atas nama Marvi Haliwela, anggota Polda Maluku yang menjadi penyebab keributan di rumah saksi Ongen Kembauw sebagia tersangka sesuai ketentuan pasal 55 ayat (1) KUH Pidana.